Maulid Atas Nama Cinta
Hampir seluruh umat Islam yang menghuni belahan dunia saat ini, melaksanakan ritual peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Baik di kota-kota besar, maupun yang hidup di pelosok-pelosok kampung. Orang berduit maupun yang hidup pas pasan. Maulid telah menjadi salah satu agenda tahunan yang mesti dilaksanakan dan dimeriahkan. Sebab telah melekat dalam sistem nilai budaya masyarakat muslim pada umumnya.
Di Sulawesi Barat, peristiwa perayaan Maulid hadir dalam ragam bentuk dan cara memperingatinya. Tergantung tradisi masyarakat yang diwarisinya secara turun-temurun pada setiap komunitas masyarakat pendukungnya. Namun sebahagian besar masyarakat menyelenggarakannya di Masjid, di rumah-rumah warga, dalam gedung sampai lapangan terbuka.
Ritual ini, lazimnya diawali dengan pembacaan sejarah Rasul yang dikenal dengan Barazanji. Dilanjutkan dengan mendengarkan taushiyah dari tokoh agama setempat. Lalu mengarak tiri yang berhias telur berwarna-warni, ketupat nabi. Serta di bagian bawah tiri tersebut terdapat makanan tradisional berupa songkolo, cucur dan semacamnya. Bahkan tiri raksasa setinggi 5 meteran diarak di kampung tua Salabose Majene yang dikenal dengan Galuga sebagai simbol besarnya hubungan emosional antara mereka dengan `sang `nabi.
Galuga juga disimbolkan seperti benang kehidupan seorang muslim yang mengikat antara mereka dengan Nabi Sang Pembawa Agama Islam ini. Bahkan di beberapa tempat lainnya, masyarakat menyelenggarakan Pammunuan dengan melakukan devile kuda Pattu’du, semacam festival jalanan yang menampilkan anak-anak yang khatam qur’annya. Mereka di arak keliling kampung dengan mengendarai kuda pattudu (menari).
Selama berada di atas kuda, Ia ditemani gadis jelita yang berpakaian adat setempat, sebagai pemandu dan serta pemikat. Agar semakin marak, kuda menari mengikuti iringan qasidah Rebana bak seorang model yang melenggang lenggok di atas cat walk dan syair-syair pujian berbahasa mandar (kalindaqdaq) menggema sepanjang rute perjalanan itu.
Peringatan maulid ini sudah menjadi sikap kebudayaan di setiap masyarakat. Event maulid ini, selain sebagai bentuk pewarisan secara turun-temurun, Maulid juga menjadi ajang menegaskan kembali manifestasi cinta kepada Rasulullah melalui peringatan hari kelahiran; secara personal maupun komunal yang terbentuk dalam kelompok masyarakat.
Meski dalam pemaknaan Maulid tergantung pada sudut pandang masing-masing, Maulid bagi para pengusaha, dimaknai dengan menyerap sebanyak mungkin perilaku dan sikap Rasulullah dalam menjalankan manajemen bisnis yang dapat diadaptasikan dengan pola dan perilaku bisnis masa kini, tanpa meninggalkan nilai yang melekat dengan Rasul.
Sementara bagi para Politisi, mendambakan kekuasaan sedapat mungkin mencontohi Rasul. Di titik ini, Maulid bagi mereka yang gandrung dengan politik, hendaknya mengubah gaya perpolitikannya menjadi penguasa beraltar cinta, serta berbuat adil, sama seperti sang Nabi besar itu. Beliaulah sumber yang tak pernah kering airnya, meskipun setiap hari kita menimbanya.
Setiap individu maupun kelompok masyarakat memiliki pengecapan yang berbeda dengan lainnya dalam hal memaknai kecintaan kepada sang Rasul itu. Ia akan melakukan apa pun untuk membuktikan kecintaannya itu. Spirit cinta yang terpatri dalam dirinya kepada sang Nabi menjelma ke dalam sprit individu untuk melakukan perubahan secara perorangan, ingin mengubah dirinya dalam momentum Maulid itu sendiri.
Dari sudut pandang antropologi budaya, setiap manusia selalu berkaitan dengan upacara-upacara dengan ragam tingkat perubahan dalam hidupnya. Ini dikenal dengan istilah crisis rites. Upacara ini sekaligus dipahami sebagai peamatangan jiwa untuk mengubah kehidupannya ke arah yang lebih baik. Sehingga Maulid dipahami bukan saja sebatas mengenang kelahiran Sang Nabi, namun juga dientaskan perubahan sikap orang per orang dan masyarakat itu sendiri.
Maulid menjadi sangat multifungsi bagi seseorang yang memaknainya secara bijak. Sebab merupakan perwujudan dari arti sebuah cinta yang bebas makna, kaya sikap. Di sini, Cinta memang sangat sulit dipahami dan dituturkan. Cinta hanya dapat diterjemahkan oleh siapapun yang telah terpaut rasa cinta itu sendiri. Sebab yang terpenting sesungguhnya, di balik maulid itu adalah sejauh mana bukti kecintaan anda kepada Rasul.
Seorang muslim akan sangat bahagia apabila ia menyebut dan menghadirkan sang dicinta. Atas nama cinta, segala jalan dan cara akan ditempuh untuk mewujudkan manifestasi cinta itu sendiri. Itu sebabnya, siapa pun bakal merindukan kehadiran Rasul. Itulah Muhammad Saw.
Begitu dahsyatnya sebuah kalimat rindu itu, ia memasuki seluruh relung hati setiap orang. Pengungkapan rindu sampai kapan pun takkan mampu dihalangi oleh tingginya gunung sekalipun. Piitu buuttu malindungi, pitu taena ayu purai accur naola saliliu.
Jadi Maulid sesungguhnya merupakan bersifat mutlak. Maulid telah melewati garis defenisi para filosof, atau pun dalam debat antara boleh dan tidak boleh.
Sebab ketika anda bermaulid, mestilah menjelma bagai seekor burung yang bebas melayang, melambung ke udara menyampaikan rasa rindu kepada Sang Nabi. Kerinduan itu_kata Rumi_ ibarat seruling yang telah disobekkan dari ruasnya. Bunyi seruling adalah dendang kerinduan. Sebagaimana halnya, tabuhan rebana saat detik-detik maulid itu terus-menerus mengharu-biru.
Dengan Cinta itulah, Maulid berlangsung dalam kobaran pengorbanan tak bertepi, mengorbankan apa pun yang dimiliki. Seperti dilukiskan Khalil Gibran, “Bila cinta memanggilmu, maka dekatilah, walau jalannya terjal dan berliku. Dan jika cinta memelukmu, maka dekaplah ia. Walau belati terselip di sela sela sayapnya yang hendak melukaimu”. Dengan begitu, makna maulid hanya akan diraih ketika Cinta menjadi dalil tunggalnya. Selain itu, hanyalah dalih.